Posts Subscribe to (PUT YOUR BLOG NAME HERE)Comments

3.5.08

"PEJUANG KAKI LIMA"

Tulisan ini adalah selembar kisah dari sekian banyak pengalamanku di kota kecil Banjarmasin, Indonesia. Sebuah negeri muslim dan juga bagian negara dunia ketiga. Yang dijajah oleh kapitalisme neo-liberal, globalisasi modal, pasar bebas, demokratisasi politik, pencabutan subsidi, pop culture, dan berbagai agenda neo-imperialisme lainnya. Ooh, masa mudaku di kota kecil negara dunia ketiga. . .
“Anak saya tahun ini akan masuk TK, dan butuh uang ratusan ribu, , , “ ucap sang bapak itu kepada bapak seumuran di hadapannya. Bedanya, jika sang bapak yang berujar itu adalah seorang PKL, yang satunya dari PEMKO Banjarmasin. Pihak yang berwenang terhadap rencana penggusuran lahan bapak itu mencari nafkah.
Apakah saya, salah seorang saksi mata dalam rapat negosiasi antara PKL Km.1-6 Jl. A. Yani Banjarmasin bertempat di gedung DPR Prov. Kal-Sel (Senin, 31/03) itu punya kapasitas untuk bersikap obyektif mutlak dengan dingin?? Mampukah saya menyenandungkan persis rintihan PKL ini? Tidak, saya belum pernah merasakan kegetiran sedemikian rupa. Bisakah pula saya berekspresi meniru wajah-wajah dingin para penggusur itu? Akh, melihatnya saja ingin muak. ***** Ekonomi kerakyatan. Jargon yang selalu diusung pejabat elit politik Indonesia. Surat Edaran PEMKO no. 331.1/169/Yanmasy/2008 yang berisi bahwa PKL Jl. A. Yani harus mengosongkan lahan pada minggu pertama April, menjadi salah satu bukti kecil namun konkrit dari ”omong kosong dengan ekonomi kerakyatan!!” Tunggu dulu, bisa saja jargon itu benar, ekonomi untuk ”rakyat tipikal kapitalis”. Mereka adalah ”rakyat” yang selalu mendapat akses untuk bertahan hidup (baca: merampok demi nafsu). Baik lewat intervensi politik yang ujung-ujungnya melahirkan berbagai UU berbau neo-liberal, akses investasi seluas-luasnya; tanpa melihat apakah itu harta rakyat atau bukan. Mendirikan korporasi kapitalis yang tak lebih dari sebuah pabrik penghisap buruh. Sedangkan rakyat (tanpa tanda kutip)—termasuk PKL—sulit mengakses pendidikan dan kesehatan karena mahalnya, SDA-SDA yang notebene milik rakyat dirampok legal dengan berbagai UU produk demokrasi, sembako dan BBM yang terus menjauh dari perut mereka, hingga hukum yang tak pernah adil. Membawa rakyat cuma pada 4 pilihan, (1) bertahan dengan basis ekonomi jalanan, (2) menjadi buruh kapitalis, (3) kriminalitas, dan (4) mati kelaparan. Intinya, PKL adalah dampak tak terelakkan dari sistem ini; sebagai wujud bertahan hidup dengan bertahan dari dera krisis ekonomi, modal seadanya, iklim ekonomi yang tidak pernah mendukung, tarikan retribusi ini-itu , dan pula ancaman penggusuran. Namun, jangankan menghargai, pemerintah justru menganggap PKL biang kumuh pemandangan kota yang mesti digusur, terkadang tanpa solusi. Solusi pun biasanya berkisar pada pemindahan lokaasi, lalu digusur lagi, dipindah lagi, dan digusur lagi, , , , lingkaran setan yang tetap berujung derita di hadap rakyat. Saya mengerti, bahwa trotoar jalan raya adalah milik umum, para pejalan kaki. Namun, apakah mereka sendiri mau menyulitkan dirinya berjualan di emperan penuh debu itu—justru titik akar dari masaah PKL ini adalah akibat sistem ekonomi kapitalis neo-liberal yang menganggap bahwa rakyat adalah konsumen, bukan sebagai entitas rakyat. Dan maukah pula kita mengerti, bahwa itu adalah tulang punggung keluarga mereka, yang menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. Ingat kawan, logika perut dan tangis anak minta susu sulit untuk kita analisis secara empiris. ***** Gemuruh perlawanan PKL Banjarmasin ini pun tak terelakkan. Berbajukan putih-putih dengan spanduk seadanya, pengalaman demonstrasi yang minim. Bermodalkan teriakan yel-yel sederhana ”Allahuakbar!” dan ”hidup PKL!”. Mereka turun melawan kebijakan despot ini. Dari Gelanggang Hasanudiin AM menuju kantor DPR prov. Kal-Sel. Kadang tertawa melihat mereka masih bisa bercanda berguyon khas rakyat, ”berjualan di tanah air sendiri kok dilarang”. Kadang miris melihat air mata mereka mengalir, terlalu mahal memang tangis rakyat harus keluar cuma gara-gara ”iseng” penguasa dzolim ini. Berlangsung dengan damai, dan berakhir dengan kemenangan—pencabutan surat edaran penggusuran itu. ”Kami tidak butuh pemerintah mengurusi kami. Sebab, kami mandiri dengan berwiraswasta. Penggusuran ini layaknya omong kosong dengan ekonomi kerakyatan.” Orasi dengan megaphone pinjaman ini menohok perut penguasa dzolim, walau kecil. ***** Peta perjalanan pergerakan modal telah merasuk hingga ke kota kecil Banjarmasin. Kasus ini adalah kasus nyata, dari jejak penuh tahi kekuatan kapital yang menginjak-injak rakyat ini. Ini pula bukti bahwa gerak perlawanan rakyat tidaklah mati sdan sebodoh yang kita kira. Secuil bukti masalah pelik dari eksistensi sistem jahiliyah modal. Umat cuma membutuhkan sekelompok intelektual muslim yang ikhlas dan mampu membela, menawarkan sistem alternatif yang lebih baik, dan memimpin mereka menuju gerak perubahan sistem. Parade revolusi Islam. Sampai nanti di huru-hara berikutnya. Ciaooo . . . . __________________________ Di dedikasikan untuk seluruh PKLBanjarmasin, terutama PKL Jl. A.Yani Km. 1-6, kutundukkan kepala ini kepada kalian para pejuang ekonomi jalanan. Atas gorengannya, keramahan, dan rasa persahabatan yang disatukan oleh satu rasa; tertindas. Gw bintang tamu, dari The B’RONTAKS. Salam revolter buat kawan2 FIKR com, terutama Salim. Rencana penggusuran ini, disinyalir bermula dari sindiran Wakil Jusuf Kalla saat bertandang ke Banjarmasin, bahwa PKL membuat kumuh pemandangan. Menarik, padahal PKL dianggap masalah. Namun, dilapangan tak terhitung retribusi. Kas pemerintah pun pasti penuh. Surat edaran tersebut cacat hukum, sebab Jl. A.Yani adalah jalan Provinsi kal-Sel. Maka otoritas ada di tangan kegubernuran, namun anehnya adalah, surat tersebut dari PEMKO Banjarmasin.

Categories



Widget by Scrapur

0 Testi' a Coment-4:

 
Dark Side Blogger Template Copyright 2009 - The-Brontak'S is proudly powered by Blogger.com Edited By Belajar SEO